Sunday 2 December 2007

CHICKEN-BASED DEPARTMENT

Sabtu, 01 Desember lalu kami, ESA (English Student Association) mengadakan acara Dialog Dosen-Mahasiswa bagi program Bahasa Inggris fakultas kami. Acara yang direncanakan dimulai pukul 08.00 tepat itu harus molor sampai jam 08.15 dikarenakan peserta DDM dari mahasiswa belum ada yang datang, hanya ada saya, Arie, dan dek Lina. Sedangkan dari dosen, ada Drs.Martono, M.A yang telah datang sejak jam 07.30. Saya tidak habis pikir pada mahasiswa. Di polling yang telah disebarkan, mereka menuntut dosen untuk tepat waktu, tapi sekarang? Justru para mahasiswa yang tidak tepat waktu. Ck..ck..ck…

Akhirnya acara dimulai juga. Pak Martono selaku ketua program, menyampaikan bahwa hendaknya DDM kali ini tidak dijadikan sebagai ajang untuk saling menyerang. Beliau mengatakan bahwa kita tidak boleh memposisikan diri layaknya ‘offense’ dan ‘defense’. Tapi hendaknya apa yang akan kita obrolkan nanti merupakan sesuatu yang bisa dilakukan demi kemajuan program kita. Ya…saya tentu setuju saja.

Acara diawali dengan presentasi hasil polling oleh Arie. Hal yang sangat mencolok dari polling tersebut adalah masalah fasilitas, kedisplinan dosen, dan validitas dosen. Pak Martono adalah orang yang cukup bijak dan terbuka bila dibandingkan dengan ketua program sebelumnya. Tentu saja saya sudah cukup mengenal beliau karena beliau adalah pembimbing akademik saya. Awal acara DDM yang tegang jadi cair setalah beliau mencoba mencairkan suasana.

Di hampir setengah jalannya acara tersebut, tiba-tiba HP saya bunyi. Saya buka, ternyata SMS dari Pak Dwi Elyono (salah satu dosen favorit kami yang kebetulan sedang sakit dan tidak bisa hadir) yang mengatakan bahwa skala penilaian akan diubah menjadi tanpa koma. Jadi hanya akan ada nilai 1;2;3;4 bukan 3.5 atau koma-koma yang lain. Saya memang pernah mendengar kabar itu, tapi saya pikir itu baru isu. Kemudian setelah membaca sms dari pak Dwi yang panjang itu, saya pun menanyakan hal tersebut kapada Pak Martono. Ternyata benar. Dan yang lebih mengecewakan lagi, keputusan itu datangnya dari DIKTI.

Yang cukup menarik adalah sms pak Dwi El berikutnya yang mengatakan,

“Mmang Diknas/DIKTI sering mngeluarkan kputusan yg ddasari cara brpikir ayam (cara brpikir trbalik). Sprti yg kita ketahui: ayam kalau ada motor mlintas, bukan mnghindar tapi malah marani (mendatangi) motor itu.”

Saya berpikir sama dengan Pak Dwi El. Bagaimana bisa nilai 3.6 dan 3.1 disamakan??? Sebenarnya DIKTI itu mikirnya gimana sih? Besok lebih baik diganti saja, bukan lagi Dinas Pendidikan Tinggi, tapi Dinas Pendidikan Berpikir Ayam Digaji Tinggi.

2 comments:

Batari Saraswati said...

indeks prestasi?
jadi kalau sekalipun saya dapat 3.9 (amin amin amin), akan dianggap sebagai 3?

gak relaa.

f.dian ardi wulandari said...

Menurut yang saya ketahui,memang demikian adanya. Saya mencoba membuka situs DIKTI,tapi sementara ini gagal terus. Bisa-bisa beasiswa saya pun lepas nih...