Monday 28 January 2008

TLATAR (1)

Hari Rabu kemarin, saya dan beberapa teman saya: Mbak Susi, Mas Joe, Mbak Deby, dan Dedi, pergi ke Tlatar,Boyolali. Tlatar adalah sebuah tempat memancing sekaligus tempat rekreasi keluarga. Terakhir kali ke sana,saat duduk di bangku SMA kelas 2. Tempatnya indah dan ramai pengunjung.

Rabu kemarin adalah hari di mana kami berempat: saya, mbak Susi, Mas Joe, dan juga Dedi bersepakat untuk main ke Tlatar. Sebenarnya kami berencana pergi bersama teman kami yang lain, yaitu Nanik dan Zee. Tapi berhubung mereka berhalangan, ya jadilah kami berempat plus Mbak Deby yang diajak Mas Joe turut serta karena dia tidak mau naik motor sendirian.

Perjalanan menuju Tlatar ternyata tak sejauh yang saya duga sebelumnya. Cuma makan waktu sekitar satu jam. Komentar saya pada Dedi yang memang sering ke Tlatar untuk renang ketika saya tiba di sana adalah,

“Lho, kok sudah sampai?”

“Kurang jauh to?” Tanya Dedi balik.

“Hm…kayaknya dulu ga secepat ini nyampe nya”

“Emang deket kalo dari Solo…”katanya lagi.

Kami menghabiskan banyak waktu untuk berputar-putar. Tlatar hari itu tampak sangat sepi. Hasrat saya adalah naik perahu berbentuk bebek –tahu kan ?- Jadilah kami berputar-putar hanya untuk mencari tempat yang menyediakan bebek-bebekan tadi. Sebenarnya saya sudah bilang pada teman-teman, ga usah nyari tempat yang ada bebek-bebekannya juga ga papa, daripada membuang waktu untuk berputar-putar. Tapi mereka malah bersikeras bilang, « ga papa ». Akhirnya kami pun menemukan tempat itu. Mulanya, kami kira tempat itu tutup, tapi kemudian si Dedi jalan duluan entah ke mana dan beberapa saat kemudian, dia memanggil kami dan menunjukkan jalan masuk. Sebelum masuk, kami sempat mencari kersen –buah yang dalam bahasa Jawa biasa disebut dengan ‘talok-

Sudah mereka ketahui bahwa saya itu nge-fans sama buah yang satu ini. Jadilah si Mas Joe dan juga Dedi malah pada sibuk nyari talok sendiri. Dasar mereka itu…dodol.

Lanjut ceritanya. Kami pun masuk dan langsung pesan makan. Saya bertanya pada sang pemilik tempat pemancingan itu,

“Bu, kalo mau naik bebek-bebekan, bayar nggak?”

“Ya bayar mbak…”

“Berapa?”

Lima ribu 10 menit”

“Ha? Kok mahal bu…ga bisa kurang?”

“Yah…mbak, itu buat gaji karyawan juga mbak…”

“Ya udah deh, nggak jadi…”

Sebelum berangsur pergi ke bawah pohon rindang tempat tikar digelar, saya berbalik dan bertanya kembali kepada sang pemilik tempat pemancingan tadi,

“Bu, kalo saya naik, tapi bebeknya berhenti, boleh ga?”

“hm…boleh”

Ya sudah akhirnya saya menaiki bebek yang ditambatkan di tepi kolam tadi. Belum berapa lama naik dan belum puas anak-anak mengerjai saya dengan menggoyang bebek yang saya tumpangi, ada seorang bapak-bapak yang datang, dan marah pada saya.

“Hei,mbak! Kalo mo naik ya naik! Jangan dibuat dolanan kayak gitu! Turun!”

Jadilah saya malu sekaligus kesal. Tadi katanya boleh…

Tak berapa lama, makanan datang. Kamipun makan bersama sambil ngobrol tentang apa saja. Setelah itu, mbak Susi dan mbak Deby memisahkan diri karena mereka akan membicarakan masalah pribadi. Ya saya tinggal ngobrol bareng mas Joe dan Dedi. Apa yang kami obrolkan adalah seputar buku, novel, film, bahkan perkembangan lagu terbaru. Dan kebetulan karena saya dan Dedi baru saja menyelesaikan membaca ‘Ketika Cinta Bertasbih 1’, maka obrolan kami ya seputar isi novel tadi.

Setelah selesai di tempat pemancingan, kami pun berniat untuk masuk ke taman air. Tapi tidak jadi,karena harus bayar lagi. Akhirnya kami pun melanjutkan perjalanan kami untuk bersilaturahmi ke rumah Dedi.

Bersambung…

No comments: